STRATEGI PEMBIAYAAN KESEHATAN UNTUK
MENCAPAI CAKUPAN UNIVERSAL
PELAYANAN KESEHATAN
Juliansyar
Program Studi Kesehatan Masyarakat / Konsentrasi AKK
Abstrak
Cakupan universal pelayanan kesehatan dapat dicapai apabila suatu kebijakan pembiayaan kesehatan lebih berpihak kepada masyarakat miskin dan juga mengutamakan pemerataan. Demi mencapai berbagai tujuan penting dari cakupan universal pelayanan kesehatan yaitu pemerataan pelayanan kesehatan dan akses (equitable access to health care) dan pelayanan yang berkualitas (assured quality) serta pelayanan yang sesuai dengan keadaan financial, suatu Negara haruslah mengatur sedemikian rupa strategi pembiayaan kesehatan yang ada dalam Negara tersebut. Karena suatu strategi pembiayaan kesehatan yang berkelanjutan, seimbang dan kuat sangat berpengaruh untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Suatu Negara sebaiknya mereformasi kebijakan kesehatan yang lebih berfokus kepada kebijakan pembiayaan kesehatan demi terjaminnya penyelenggaran kecukupan (adequacy), pemerataan (equity), efisiensi (efficiency)
dan efektifitas (effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu sendiri.
Kata Kunci : Pembiayaan Kesehatan, Cakupan Universal ( Universal Coverage), Pelayanan Kesehatan
Pendahuluan
Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan, mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau dan berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Pemerintah berkewajiban memberikan jaminan untuk terpenuhinya hak hidup sehat setiap warga negaranya, tanggung jawab pemerintah termasuk didalamnya pembiayaan kesehatan bagi seluruh warga negara. Kesehatan adalah salah satu unsur utama dalam setiap kehidupan seseorang. Kesehatan sangat menunjang dalam aktivitas setiap manusia. Pembangunan kesehatan dalam kehidupan berbangsa sangat besar nilai investasinya terutama terhadap sumber daya manusia. Dengan adanya penduduk suatu bangsa yang terjaga kesehatannya dengan baik, bangsa tersebut akan memiliki sumber daya yang manusia yang lebih optimal dalam pembangunan. Dalam Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan menjelaskan bawa pemerintah bertanggungjawab penuh dalam pemenuhan hak hidup sehat setiap warga negara termasuk penduduk miskin dan tidak mampu. Tanggung jawab pemerintah termasuk didalamnya komponen pembiayaan kesehatan.
Dalam pembiayaan kesehatan suatu negara selalu mempertimbangkan keikutsetaan sektor swasta yang ikut berperan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Dari sisi pemerintah, pembiayaan kesehatan dihitung pada besarnya dana yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi semua warga negaranya, pengeluaran dana oleh pengguna jasa pelayanan kesehatan tidak diperhitungkan sehingga total pembiayaan kesehatan adalah jumlah biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah ditambah dengan jumlah dana yang dikeluarkan oleh pengguna jasa pelayanan kesehatan untuk sektor swasta.
Implementasi strategi pembiayaan kesehatan di suatu negara diarahkan kepada beberapa hal pokok yakni; kesinambungan pembiayaan program kesehatan prioritas, reduksi pembiayaan kesehatan secara tunai perorangan (out of pocket funding), menghilangkan hambatan biaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, pemerataan dalam akses pelayanan, peningkatan efisiensi dan efektifitas alokasi sumber daya (resources) serta kualitas pelayanan yang memadai dan dapat diterima pengguna jasa.
Dalam membicarakan pembiayaan kesehatan yang penting adalah bagaimana memanfaatkan biaya tersebut secara efektif dan efisien baik ditinjau dari aspek ekonomi maupun sosial dengan tujuan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat yang membutuhkan. Dengan demikian suatu pembiayaan kesehatan dikatakan baik, bila jumlahnya mencukupi untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dengan penyebaran dana sesuai kebutuhan serta pemanfaatan yang diatur secara seksama, sehingga tidak terjadi peningkatan biaya yang berlebihan.
Dari uraian di atas, ada 2 pertanyaan yang erat hubungannya dengan strategi pembiayaan kesehatan demi mencapai cakupan universal pelayanan kesehatan, yaitu :
1. Mengapa sampai saat ini strategi pembiayaan kesehatan belum mampu mencapai cakupan universal pelayanan kesehatan ? Faktor-faktor apakah yang menghambatnya ?
2. Strategi pembiayaan kesehatan apa yang harus ditempuh pemerintah demi menyediakan pelayanan kesehatan yang bermutu, dibutuhkan dengan biaya yang terjangkau bagi masyarakat ?
Cakupan kesehatan universal
Universal Health Coverage (UHC) adalah isu penting bagi negara maju dan berkembang. Menyadari hal tersebut, maka pada tahun 2005 negara-negara anggota WHO menyetujui sebuah resolusi agar Negara mengembangkan sistem pembiayaan kesehatan dengan tujuan untuk menyediakan Universal Health Coverage. Ketentuan ini penting untuk memastikan akses yang adil untuk semua warga Negara, untuk tindakan preventif yang penting dan tepat, promotif, kuratif dan rehabilitatif pelayanan kesehatan dengan biaya yang terjangkau (affordable cost). Selain perlindungan resiko keuangan, cakupan Universal Health Coverage juga bermakna 3 dimensi yang saling melengkapi, yaitu sejauh mana cakupan populasi (breadth), sejauh mana cakupan pelayanan kesehatan (depth), dan tingkat
cakupan keuangan dari paket bantuan seperti co-payment dan deductible (height).
Masalah pokok pembiayaan kesehatan
Setiap strategi pembiayaan kesehatan yang berlaku pada tiap Negara tentunya terdiri dari penyatuan dari berbagai sifat yang terdapat dari Negara tersebut. Maka ketika terdapat strategi pembiayaan kesehatan yang belaku pada Negara tertentu tidak lantas strategi tersebut secara mutlak dapat diberlakukan pada Negara lain sebab pada tiap Negara tentunya memiliki beberapa faktor atau karakteristik tertentu yang mempengaruhi strategi pembiayaan kesehatan yang seperti apa yang sebaiknya diberlakukan.
Sampai saat ini dalam mencapai cakupan universal pelayanan kesehatan tidaklah mudah, dikarenakan semakin meningkatnya kesadaran kesehatan masyarakat terhadap kesehatan dan juga karena telah dipergunakannya berbagai peralatan canggih, menyebabkan pelayanan kesehatan semakin bertambah kompleks. Ini semua, jika di satu sisi memang mendatangkan banyak keuntungan yakni makin meningkatnya derajat kesehatan masyarakat, namun di sisi lain tenyata juga mendatangkan berbagai masalah. Ditinjau dari sisi pembiayaan kesehatan masalah-masalah tersebut adalah kurangnya dana yang tersedia, penyebaran dana yang tidak sesuai, pemanfaatan dana yang kurang tepat, pengelolaan dana yang belum sempurna, biaya kesehatan semakin meningkat yang di pengaruhi oleh tingkat inflasi, tingkat permintaan, kemajuan ilmu dan teknologi, perubahan pola penyakit, perubahan pola pelayanan kesehatan,, perubahan pola hubungan dokter-pasien, lemahnya mekanisme pengendalian
biaya, dan penyalagunaan asuransi kesehatan.
Berbagai sistem pembiayaan kesehatan untuk mencapai equity dan universal
coverage
State-funded systems (biaya kesehatan ditanggung negara) atau tax based system (berbasis pajak)
Sistem ini dijalankan oleh Inggris dan bekas jajahannya (negara anggota persemakmuran seperti Australia, New Zealand, Canada, Singapura, Malaysia) serta beberepa negara Eropa. Dalam sistem ini masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan gratis atau nyaris gratis namun mereka ditarik berbagai pajak sebelumnya. Keuntungan dari sistem ini adalah biasanya mencakup lebih banyak orang (universal coverage), serta dapat mengandalkan pada banyak sumber pembiayaan, serta secara relatif mudah dikelola. Namun di sisi lain karena tergantung pada anggaran yang secara tahunan harus bersaing dengan dinas lain, maka sifatnya kurang stabil dan bahkan sering tidak memadai. Di banyak negara sistem ini ternyata tidak efisien. Selain itu, state funded systems cenderung menguntungkan yang kaya daripada yang miskin. Oleh karena itu, untuk menjaga agar sistem ini berjalan baik di negara berpenghasilan rendah, harus ada kondisi yang mendukung misalnya pertumbuhan ekonomi yang baik, administrasi pajak yang profesional, dan institusi yang kompeten. Selain itu, yang penting terdapat upaya khusus untuk membantu orang miskin, untuk mencegah “a poor system for poor people” (Mossialos and Dixon 2002). Dalam sistem ini, pemberi pelayanan dibayar langsung oleh pemerintah.
Sistem ini dianggap menjadikan masyarakat manja dan tidak mendidik karena merasa gratis sehingga tidak mempunyai keinginan untuk menjaga kesehatan, cenderung memanfaatkan secara berlebihan (moral hazard). Selain itu, terdapat sangat rentan terhadap politik jangka pendek. Sebagai contoh: pejabat yang dipilih sekarang menjanjikan “pelayanan gratis”, namun tapi bila pejabat tersebut tidak terpilih kembali belum tentu pejabat baru melanjutkan. Yang terjadi di beberapa negara berkembang, seringkali yang “gratis” hanya sesuatu yang tidak berbiaya besar seperti misalnya pelayanan rawat jalan di Puskemas, atau diberi batasan yang terlalu ketat misalnya hanya akan ditanggung sampai
maksimal Rp 1.000.000,-
Social health insurance (SHI)
Sistem ini dianut oleh Jerman, Taiwan, Korea Selatan dan beberapa negara lain. Bentuk asuransi ini berupa iuran wajib dari setiap warga negara kepada lembaga asuransi yang terpisah dari lembaga pemerintah. Sistem ini bertujuan untuk mencakup sebanyak mungkin orang dengan sistem subsidi silang antara yang kaya dan yang miskin. Selain itu membuat sumber biaya kesehatan lebih stabil dan masyarakat lebih mandiri. Tapi tujuan ini hanya bisa dicapai lewat tahapan dengan kecepatan yang berbeda-beda tergantung pada karakteristik politik, sosial dan ekonomi di suatu negara. Di banyak negara dengan pendapatan rendah, terutama yang ekonominya stagnan dan jumlah pekerja informal banyak, akan terdapat kendala besar bagi tercapainya tujuan ini. Oleh karena itu, sebelum mengimplementasikan sistem ini pemerintah harus mengkaji secara mendalam. Pengkajian ini akan memutuskan apakah reformasi perlu segera dilakukan atau harus menunggu semua lingkungan kondusif. Pengalaman menunjukkan bahwa pada tahap awal implementasinya, SHI cenderung mengalihkan sumber daya dari segmen populasi yang miskin ke yang kaya. Sistem SHI juga harus didukung oleh upaya pengendalian biaya (cost containment).
Perusahaan asuransi dikritik cenderung menganggap uang premi sebagai “pendapatan perusahaan” sehingga berperilaku terlalu “efisien” dan akhirnya mutu layanan kesehatan dikorbankan. Permasalahan dalam pengumpulan premi juga dapat menjadi kendala. Mekanisme penarikan premi yang berasal dari masyarakat yang pendapatan tidak tetap (sektor informal) sulit karena mereka tidak memiliki gaji tetap bulanan yang tercatat. Selain itu, kepercayaan masyarakat kepada sistem asuransi masih rendah karena tidak ada “uang kembali”
bila tidak sakit.
Community-based health insurance
Di Indonesia system ini pernah dikenal dengan nama Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Dalam sistem ini, kelompok-kelompok masyarakat mengumpulkan iuran asuransi kesehatan sendiri secara sukarela. Sistem ini memberikan proteksi finansial kepada mereka yang tidak mempunyai akses lain ke pelayanan kesehatan. Walaupun demikian, kebanyakan community based health insurance preminya dan benefitnya kecil dan seringkali tidak bisa bertahan. Asuransi ini juga sering tidak efektif dalam mencapai populasi yang termiskin. Asuransi semacam ini dapat dikembangkan bila banyak sektor informal serta tidak terdapat institusi yang memadai untuk mengelola asuransi. Tetapi syaratnya harus ada komitmen dan solidaritas tinggi diantara masyarakat. Intervensi pemerintah seperti pemberian subsidi, bantuan teknis dan inisiatif untuk menghubungkan antara community based insurance dengan sistem pembiayaan kesehatan yang lebih formal adalah penting untuk meningkatkan efisiensi dan keberlangsungan sistem ini. Banyak literatur menganggap bahwa model ini “lebih baik daripada tidak ada sama sekali” Namun demikian community based insurance harus dianggap sebagai pelengkap bukan pengganti dari yang sudah ada (Preker and others 2004). Tantangan yang paling besar adalah bagaimana merancang community based insurance agar berubah menjadi system
pembiayaan yang lebih komprehensif dan canggih.
Voluntary health insurance (asuransi kesehatan sukarela)
Dalam sistem ini, setiap orang berhak untuk ikut atau tidak ikut menjadi anggota sebuah perusahaan asuransi swasta komersial. Sistem ini memerlukan adanya perusahaan komersial yang kompeten. Sistem ini dapat mengambil untung dari (tetapi tidak tergantung dari) kapasitas pemerintah yang kuat. Tidak seperti asuransi sosial yang lebih sulit dikembangkan. Asuransi sukarela tidak tergantung pada solidaritas sosial atau nasional dan pasar formal yang stabil, walaupun kondisi semacam ini membantu. Namun demikian, sistem ini, kecuali disubsidi oleh pemerintah, hanya dapat mengandalkan pada kemampuan membayar masyarakat dan kalangan bisnis. Selain itu sistem ini rentan terhadap kegagalan pasar dan isu keadilan. (Tapay and Colombo 2004). Oleh karenanya harus dikembangkan secara hati-hati dan perlu ada peraturan pemerintah yang kuat. Dalam ketiga sistem asuransi di atas, perusahaan asuransi yang membayar pemberi pelayanan kesehatan (PPK) sedangkan pemerintah berfungsi sebagai
regulator.
Strategi pembiayaan kesehatan di Indonesia demi mencapai cakupan universal
Secara hukum (dejure), Indonesia telah memilih sistem Asuransi Sosial yang tertera dalam UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional pasal 19: Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip equitas. Namun secara fakta (de facto), di Indonesia ternyata lebih dominan sistem pajak daripada asuransi social karena saat ini terdapat lebih dari 70 Juta orang yang dijamin oleh program Jamkesmas yang pada prinsipnya adalah system berbasis pajak. Bahkan. direncanakan akan ada penambahan dana untuk Jamkesmas dan perluasan keanggotaan. Terlebih lagi saat ini terdapat lebih dari 100 kabupaten/kota yang mempunyai program Jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) yang tidak menarik iuran tetapi membiayainya dengan sumber dana dari APBD (uang pajak yang dikelola daerah).
Berdasarkan perkembangan terakhir dapat diprediksi arah sistem pembiayaan kesehatan. Perkembangan politik menunjukkan bahwa arah sistem pembiayaan akan menuju sistem pajak (non contributory) dalam jangka waktu 15 – 20 tahun ke depan. Hal ini terbukti dengan adanya Jaminan Persalinan (Jampersal) yang menjamin tidak hanya ibu-ibu miskin tetapi semua ibu yang melahirkan akan dibiayai oleh negara. Apabila sistem pajak mendominasi sistem pembiayaan maka akan sulit berubah menjadi system asuransi sosial (contributory). Hal ini sudah terjadi di Chile, yang juga menerapkan UU tentang asuransi kesehatan social namun ternyata hanya sekitar 50% yang membayar premi dan itupun kurang dari 15% yang rutin membayar.
Berdasarkan perkembangan yang ada sampai saat ini, sistem pajak diproyeksikan akan lebih feasible bila ingin mencapai Universal Coverage. Namun tantangan dari sisi pasokan sumber daya (jumlah dokter spesialis, RSU dan layanan kesehatan lain) berat. Hal ini karena masih belum meratanya tenaga dan fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia. Akibatnya kalaupun semua penduduk dijamin sebuah system pembiayaan kesehatan, namun mereka yang ada di daerah terpencil tidak akan mampu memanfaatkannya. Ini berarti ada Universal Coverage (semua orang punya jaminan kesehatan) namun hanya akan dimanfaatkan oleh mereka yang dekat dengan fasilitas kesehatan. Dan bagi mereka yang di daerah terpencil, hanya yang cukup kaya yang dapat membiayai perjalanan untuk dapat mencapai fasilitas kesehatan. Dengan demikian akan
terdapat equity (keadilan) yang rendah.
Penutup
1. Sampai saat ini dalam mencapai cakupan universal pelayanan kesehatan tidaklah mudah, dikarenakan semakin meningkatnya kesadaran kesehatan masyarakat terhadap kesehatan dan juga karena telah dipergunakannya berbagai peralatan canggih, menyebabkan pelayanan kesehatan semakin bertambah kompleks. Ini semua, jika di satu sisi memang mendatangkan banyak keuntungan yakni makin meningkatnya derajat kesehatan masyarakat, namun di sisi lain tenyata juga mendatangkan berbagai masalah. Ditinjau dari sisi pembiayaan kesehatan masalah-masalah tersebut adalah kurangnya dana yang tersedia, penyebaran dana yang tidak sesuai, pemanfaatan dana yang kurang tepat, pengelolaan dana yang belum sempurna, biaya kesehatan semakin meningkat yang di pengaruhi oleh tingkat inflasi, tingkat permintaan, kemajuan ilmu dan teknologi, perubahan pola penyakit, perubahan pola pelayanan kesehatan, perubahan pola hubungan dokter-pasien, lemahnya mekanisme pengendalian biaya, dan penyalagunaan asuransi kesehatan.
2. Sistem pembiayaan kesehatan berfungsi untuk memberikan jaminan pembiayaan kesehatan agar masyarakat dapat terhindar dari pengeluaran biaya yang besar ketika mereka sakit. Apapun sistemnya, asal ada fungsi perlindungan finansial yang dapat diberlakukan maka sistem tersebut dapat dikatakan efektif. Selain itu, sistem pembiayaan juga harus menjamin adanya equity atau kesetaraan akses layanan kesehatan pada masyarakat. Sistem pembiayaan jangan hanya menguntungkan mereka yang mudah memperoleh akses layanan kesehatan, seperti misalnya mereka yang tinggal di kota besar atau dekat kota yang jumlah penyedia layanan kesehatannya memadai. Akhirnya, sistem pembiayaan kesehatan ini hanya akan efektif bila disediakan juga suatu sistem penyediaan pelayanan kesehatan yang merata. Peran swasta dalam pembiayaan kesehatan ternyata cukup penting. Dana yang dialokasikan pemerintah untuk pembiayaan kesehatan masyarakat Indonesia masih belum mencukupi. Oleh karena itu dalam pembiayaan kesehatan diperlukan hubungan kemitraan yang baik antara pihak swasta dan pemerintah, dimana pihak swasta tetap dapat memegang sektor penyelenggaraan fasilitas kesehatan, sedangkan pemerintah tetap mengadakan pengawasan dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk meregulasi pihak swasta agar dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan tetap memperhatikan kemampuan ekonomi masyarakat, sebagai contoh : memberlakukan Jamkesmas di Rumah Sakit Swasta. Dengan adanya hal tersebut diharapkan masyarakat miskin tetap
dapat menerima pelayanan dari fasilitas kesehatan swasta.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar A. 2004. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta : Binarupa Aksara. www.googlebooks.com. [ di akses 23 Desember 2012 ]. Idris, M. Pembiayaan Kesehatan. http://muhammadidris1970. wordpress.com/2010/04/17/pembiayaan-kesehatan. [ di akses 23 Desember 2012 ]. Kompasiana. Kebijakan Pembiayaan Kesehatan. http:// kesehatan. kompasiana. com /medis/2011/10/16/kebijakan-pembiayaan-kesehatan. [ di akses 23 Desember 2012 ].
Tapay and Colombo. 2004 . Private Voluntary Health Insurance : Consumer Protection and Prudential Regulation. Washington D.C. The World Bank. www.googlebooks.com. [ di akses 23 Desember 2012 ]. Preker and others. 2004. Private Voluntary Health Insurance in Development Friends or Foe. Washington D.C. The World Bank. www.googlebooks.com. [ di akses 23 Desember 2012 ]. Mossialos and Dixon. 2002. Funding Heallth Care : an Introduction Options for Europe. Open University Press. www.googlebooks.com. [ di akses 23 Desember 2012 ].